-->

Sarjana Kedokteran Enggan Mengabdi di Daerah Terpencil

Post a Comment
(Photo: okezone.com) 
JAKARTA - Saat ini tidak banyak sarjana Fakultas Kedokteran mau mengabdi di daerah terpencil. Minimnya fasilitas menjadi salah satu penyebab utama. Ada juga anggapan bahwa kuliah di bidang ini membutuhkan banyak biaya, maka bekerja di pedalaman dengan gaji minim tentu tidak akan mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.

Padahal, kata Dr dr Dwi Handono, pada tahun 1980-an dahulu, pemerintah memberikan subsidi untuk pendidikan kedokteran. Bahkan, hingga masa bimbingan dokter.

"Memang tidak gratis, namun biaya kuliah kedokteran sangat murah," kata Dwi.

Sehingga, imbuhnya, ketika lulus, sarjana kedokteran harus mengikuti program wajib kerja sarjana. Program ini juga dijalani Dwi saat dia lulus pada 1987.

Namun kini, justru kebalikannya. Meski diiming-imingi pengangkatan menjadi PNS, minat bekerja di daerah terpencil minim. Dwi menyebut, biaya kuliah kedokteran yang tinggi membuat para sarjananya harus hitung-hitungan dan enggan bekerja di pelosok Tanah Air.

"Beda dengan sekarang yang harus bayar mahal, jadi antara biaya yang sudah dikeluarkan, nanti dapat apa. Cuma masalahnya memang sebaiknya seorang dokter ada pengalaman lapangan dan memiliki idealisme," papar Dwi.

Isu menarik ini dibahas tuntas dalam diskusi "Potensi dan Peran Institusi Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kesehatan untuk Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)" di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) belum lama ini. Dwi menilai, salah satu cara memperbaiki minimnya minat dokter muda mengabdi di daerah terpencil adalah dengan m

emperbaiki kurikulum. Menurutnya, perlu ada tambahan kurikulum berbasis lokal dan wawasan Nusantara mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, termasuk daerah terpencil.

"Sekarang sudah kurang terekspos lagi untuk menanamkan semangat seperti itu," tutur  Dwi, seperti dinukil dari laman UGM, Senin (30/3/2015).

Sementara itu, bagi Putu Eka Handayani, mengabdi di daerah terpencil sebagai dokter justru menjadi peluang untuk melanjutkan sekolah spesialis. Peneliti PKMK untuk Renumerasi Dokter dan Dokter Spesialis di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menambahkan, persaingan mendapatkan beasiswa kuliah spesialis lebih besar jika bekerja di kota besar.

"Dari yang saya temui, masih ada dokter-dokter yang sebenarnya ingin hidup di kota kecil. Mereka beranggapan tidak banyak persaingan, tidak menemui tingginya tuntutan status sosial seperti di kota besar, dan ada dokter yang punya pandangan seperti itu," papar Eka.

(link:http://news.okezone.com/read/2015/03/30/65/1126446/sarjana-kedokteran-enggan-mengabdi-di-daerah-terpencil)

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter